UA-85687238-1 Di Antara Kunang-kunang

Semoga Ada Hari Baik Selanjutnya

Lamunan-lamunan yang bias
Menutup mata sama saja membunuh waktu
Lalu detik-detik itu?
Membiru sudah bersama rindu

Daun-daun teh mengerti
Saat sebelumnya ada tawa di sekelilingnya
Kaki-kaki di antara bebatuan
Yang kegirangan menatap langit sore

Bunga putih kecil terjatuh
Angin meniup rintih-rintih suara sayu
Begitu besar kasih Tuhan
Hamparan hijau di bawah langit kelabu

Kemudian hempas serupa air
Lalu riuh berbisik ke telinga
Ini belum cukup, Sayangku
Semoga ada hari baik selanjutnya



Oleh: Randi Ari Nugraha S

Tidak Lagi

Ranting di atas kepalamu yang merunduk ketika bunga-bunga putih keunguan bermekaran di tubuhnya; kau menatapnya sambil tersenyum. Kemudian terjatuh daun kecil kehijauan, tepat di hidungmu, menyadarkanmu bahwa kau dan rindu adalah satu, yang semu pada pucuk waktu.
Riang kunang-kunang tidak datang malam ini, sehampar rerumputan menggigil, tapi kau tersenyum, kemudian bintang-bintang pada langit di sudut matamu tersenyum bersamamu.
Tidak lagi. Tidak. Tidak lagi satupun bening air matamu akan menetes dan mengalir ke pipimu sampai pada rona bibirmu. Tidak lagi sunyi akan menggeliat menghancurkan inti tubuhmu, menyatakan lemahmu. Tidak lagi cahaya kecil berkelip kunang-kunang akan kau tunggu dan kau akan berlalu, tanpa berkata-kata pada angin yang menjatuhkan daun kecil kehijauan, tapi angin tersenyum dan mekar bunga-bunga putih keunguan tersenyum bersamanya, bersamamu.



Oleh: Randi Ari Nugraha S

Segelas Air


Masih kau diantara rintik-rintik rindu sepertiga pagi. Mimpi bukan lagi penawar bagi ingatan-ingatan yang ingin dibangkitkan. Aku hening mengejamu. Pada bisikan-bisikan sendu yang menghantam lembut atap rumahku aku mencari-cari suaramu. Pada langit-langit yang masih tergantung layu harapan aku mencari-cari lengkung senyummu. Lalu pada hatiku, aku mencari-cari dirimu dan kau kutemukan, utuh. Segelas air. Dahagaku usai.



Oleh: Randi Ari Nugraha S

Di Kantin Sekolah Menengah Kejuruan

Ia menunggumu, menunggumu sambil rebah seluruh tubuhnya pada sebuah kursi oranye panjang di bawah pohon tua yang daun-daunnya menguning kecoklatan kemudian gugur karna angin pada sore yang meniupkan lembut namamu tepat di telinga kirinya sembari mencerna suara sendu burung gereja di telinga kanannya lalu menutup matanya yang mungkin kelelahan memandangi langit rabu yang terlalu sayu. Ia menunggumu.







Oleh: Randi Ari Nugraha S

Kalau-kalau Harga Rokok Naik

Kalau-kalau harga rokok naik, biar saja kuhirup oksigen murni, tapi bukan disini, bukan ditempat ini, lima zat pencemar udara paling jahat bertebaran disini. Aku akan pergi, pergi kesana, bukit paling hijau tanpa daun-daun yang menguning, oksigen murni bertebaran disana sebelum petang. Akan kuhirup dalam-dalam oksigen murni itu, biar paru-paruku mengembang lalu mengempis lalu mengembang lagi. Akan benar-benar kunikmati.

Petani-petani tembakau pun akan datang, mereka akan tersenyum melihatku. Resah di dadanya akan dilupakannya barang sejenak. Kami sama-sama cinta tembakau. Tapi biar kami lupakan sebentar tentang tembakau kali ini. Biar kami singgah.

Kami akan duduk, menghirup dalam-dalam oksigen murni disana, menikmati suasana, bunga-bunga putih kecil di kaki, bercerita tentang riwayat keringat-keringat yang pernah terjatuh.

Kemudian salah satu dari petani tembakau akan bernyanyi, suaranya merintih, kecil, lembut "hiduplah tanahku, hiduplah negriku, Bangsaku, Rakyatku, semuanya" Kami pun ikut bernyanyi, kami bernyanyi, kami semua bernyanyi, burung-burung kecil pun sekuat tenaga berusaha menyanyikan nyanyian ini bersama kami.

Kemudian kami akan tertawa, sangat keras, sungguh keras, sampai puas, sampai menetes air mata.

Kabut akan turun dan kami akan pergi, pergi ketempat kami masing-masing. Ada empat jalan setapak yang bisa kami lalui, para petani tembakau memilih menuju ke selatan bersama-sama, aku ke utara, namun tak ada satupun dari kami yang pergi ke barat atau pun ke timur.

Dari kejauhan, tubuh-tubuh ringkih mereka, lengkung keikhlasan pada wajah mereka, ada lengkung keikhlasan pada wajah mereka. Tawa mereka, mereka tertawa, tapi tetes air mata mereka, mereka menangis.

Semakin jauh, jalan setapak yang tertutup kabut, mereka menghilang, tak lagi terlihat, ada aroma tembakau.














Oleh: Randi Ari Nugraha S

Bambu Larangan

Kalian bertanya dan aku menjawab dan aku mati
Dari cahaya sampai gelap sampai aku mati
Lalu apa?
Ini masih terlalu gelap
Masih terlalu sepi

Kenapa aku?
Lidah memang buas
Aku terima itu
Tapi bukan aku
Sungguh, bukan aku

Bambu hitam, bambu tali, bambu ampel
Mereka saja tak asal menerka
Siapa kalian?
Siapa aku?

Irasional
Buncit dan darah-darah mereka
Keresahan-keresahan itu
Aku pun sama
Kenapa aku?

Kalian bertanya dan aku menjawab dan aku mati
Dari cahaya sampai gelap sampai aku mati
Lalu apa?
Sudah pagi
Aku
Mati



Oleh: Randi Ari Nugraha S



Di Cengkareng

Hitam dan jauh.
Ini malam, tak pernah seindah mimpi.
Kelip-kelip di atas sana tak ada-apanya.
Di hadapanku, jamur-jamur beratap tumbuh subur.
Lebih kelip, lebih berkelip.
Membentuk rentetan benderang menantang bintang.
Sebuah polusi cahaya luar biasa.

Ada yang bilang ini tempatku.
Kupikir, ini tempatmu.
Adakah hal yang lebih rancu ketimbang itu?
Bahkan tak lagi ku kenali tempat ini.
Di bawanya jauh-jauh kenang masa kecilku.
Biar saja aku berserah pada dewasa.
Satu-satunya hal yang masih layak ku ada-ada.

Disini.
Tak lagi kunang-kunang menari.
Tak lagi cahaya kecil di rerumputan menyapaku.
Tak lagi mampu kukenang.
Tak lagi aku, di tempatku.





Oleh: Randi Ari Nugraha S


Aku Hidup

Aku tidak melihat bahagia pada tetes-tetes air.
Aku tidak mendengar tawa pada daun-daun.
Aku tidak melihatmu pada rona bunga di ujung sana.
Aku rebah.
Ada yang rebah.

Burung-burung tidak kembali untukku.
Langit mengabaikanku.
Padi-padi menari tanpaku.
Angin berhembus di sela-sela gigilku.
Aku hening.
Ada yang hening.

Rindu masih mengalir di nadi-nadiku.
Sunyi masih bisa kuhirup.
Jingga masih jadi sinema yang kutunggu-tunggu.
Dan kau masih ditempatmu, di hatiku.
Aku hidup.
Ada yang hidup.










Oleh: Randi Ari Nugraha S



Tentu Saja

Sedang apa? Bagaimana suasana hatimu?
Kenapa tak pernah kau biarkan aku tahu?
Mungkin karna aku pun tak pernah biarkan kau tahu.
Tentu saja karna aku pun tak pernah biarkan kau tahu.

Kali ini, akan kubiarkan kau tahu;

Aku mencintaimu. Mungkin.
Mungkin, karna aku pun tak mengerti. Melihat senyummu sama seperti melihat hamparan hijau dan jingga serta bunga-bunga kecil merona bersamanya. Aku suka. Aku menyukainya. Sangat. Amat. Aku cinta. Mungkin.

Kau kucintai. Tentu saja.
Tentu saja, karna aku mengerti. Hamparan hijau dan jingga serta bunga-bunga kecil merona bersamanya akan selalu jadi pujaanku. Aku suka. Aku menyukainya. Sangat. Amat. Aku cinta. Tentu saja.

Di antara kemungkinan dan kepastian yang kubuat-buat, aku hanya ingin kau mengerti; Aku tak pernah mencintai embun. Embun itu gigil, rindu tanpa temu, dan sesak yang terhirup lewat celah-celah udara sebuah pagi. Embun di matamu, yang basah di pelupuk matamu.

Berjanjilah, untuk selalu menjadi hijau serta jingga serta merona tanpa pernah menjadi embun.
Berjanjilah, untuk tidak menjadi gigil juga rindu juga sesak yang terhirup lewat celah-celah udara sebuah pagi..
Kau harus baik-baik saja.
Kau perlu baik-baik saja.

Karna aku mencintaimu, kau kucintai, mungkin, tentu saja.








Oleh: Randi Ari Nugraha S

Sabtu

Hari ini aku lihat kelabu.
Tidak, aku melihat jauh redup lampu-lampu membentuk wajahmu.
Putih bunga di hadapanku, ungu, merah, oranye, kuning dan hijau daun-daun mekengkapinya.
Mereka tersenyum.

Sebentar lagi gelap.
Aku tak ingin pergi, biar disini.
Kupikir, bukankah hening adalah cara terbaik bersentuhan dengan angan?
Kupikir, aku akan terbiasa.

Sudah gelap.
Ada seekor kunang-kunang datang, cahanya redup, terbang rendah, sendirian, tak bisa ku eja bahasanya, menyedihkan. Ada air mata di pelupuk matanya, sungguh, ada air mata di pelupuk matanya. Kemudian ia jatuh, cahayanya mati, ia mati.

Sudah sangat gelap.
Bulan tak muncul, bintang sembunyi.
Aku tak ingin pergi, biar disini.
Jauh lampu-lampu di sana masih redup, masih membentuk wajahmu, indah.
Mau kupetikkan satu tangkai bunga dihadapanku ini?
Kuning? Akan kupetik setelah ini, semoga daun tak iri.







Oleh: Randi Ari Nugraha S

Aku Dan Empat Temanku Tidak Bernyanyi Malam Ini

Tidak biru. Tidak kelabu. Tidak sendu. Tidak baru. Tidak juga layu.
Hening tapi merdu. Lampu-lampu. Isyarat angin gigil yg baru saja berlalu.
Bergantung dua tiga mimpi-mimpi tertunda di pucuk cahaya lampu tua sebelah sana.
Ini kehendak. Ini mauku. Ini maumu. Ini maunya.

"Sudahlah! Ini cukup"
"Aku membiru, Sayangku."
"Perihal nanti, biar saja jadi nanti."
"Tanam saja jagung atau padi."
"Lekaslah pulang, ayahmu sudah lupa cara menyebut namamu."

Tiba-tiba bergetar gelombang suara telepon genggam.

"Tik tok tik tok"

Sudah pagi. Satu persatu dari kami pergi ke lembah tanpa gurau. Semoga kembali atau tak kembali atau mati atau tidak mati atau berjalan atau-atau berlari atau padi atau jagung atau ayah, ibu, adik, kakak, atau sudah, sudahi saja, menangis saja.






Oleh: Randi Ari Nugraha S

Sendu

Malam ini, mungkin kau baru saja menangis, atau sedang menangis, atau barangkali berencana akan menangis. Meneteskan air mata, setetes saja, atau barangkali ratusan tetes demi tetes air mata, mata indah milikmu itu. Terisak, atau, pun barangkali hanya sedikit menarik nafas panjang melalui lubang hidung mungilmu menuju paru-paru di balik dada lapangmu. Tak apa, menangislah.

Kupikir, kau perlu itu. Kau suka terombang ambing dalam perasaan sendu, mengingat yang lalu, biru, jingga, hijau dan tawa. Tunggu, tawa tidaklah sendu, tawa itu bahagia, namun tawa yang kau ingat adalah tawa yang tak pernah lagi kau kecap rasanya, itu sendu.

Menangis bagimu adalah pengharapan. Tentang dia, seseorang yang tawanya dahulu adalah bahagiamu, bahagia tak terkira, bahagia luar biasa, tanpa tangis, tidak sendu. Kau ingin bersamanya, mengecap lagi tawanya, tertawa bersamanya, menertawakan dunia, sangat keras, sangat terbahak, terdengar sampai angkasa, sampai Tuhan pun ikut tertawa.

Dia.

Dibalik dada kirimu.

Kau merindukannya. Sangat merindukannya, terlalu merindukannya, dan sungguh katamu dalam hati "Tuhan, dia, cukup dia, dia lebih dari cukup, batalkan saja rencanamu tentang segala sesuatu yg lebih indah darinya."

Kupikir, tak ada yang salah dengan rindumu. Tuhanmu pun mungkin hanya sedang rindu padamu. Maaf, tapi terjemahkanlah.

Suatu hari, jika tiba saatnya, angin akan berhenti, dan Tuhan akan bekerja.

Jutaan liter kubik air laut akan membanjiri hatinya, dia, bahagiamu, dibalik dada kirinya. Menghanyutkan segala hal dihatinya, tapi tidak kau. Kau tahu bagaimana menjadi karang, kau karang, air laut takkan mampu menghancurkanmu. Kau akan jadi satu-satunya yang bertahan dihatinya. Dia akan mengerti siapa yang terhebat, kau yang terkuat, yang paling tangguh merindukannya, merindukan lebih rindu daripada rindu. Dan, air mata akan menetes dari matanya, setetes saja, atau barangkali ratusan tetes demi tetes air mata, mata yang bagimu lebih indah dari indah. Rindumu usai. Dan semoga Tuhan pun tak lagi harus merindukanmu.

Lalu aku? Nantinya, aku pun akan menangis. Setetes saja. Sambil tertawa. Aku sendu.





Oleh: Randi Ari Nugraha S

Tak Apa

Aku suka pengabaianmu
Ada harapan paling harap untukku
Tak apa



Oleh: Randi Ari Nugraha S